Cinta Indonesia dalam Menghadapi Perkembangan Globalisasi
Sudah lama ternyata kagak posting di blog ini lagi.
Baiklah kali ini saya posting artikel dengan tema "Cinta Tanah Air. Artikel ini adalah tugas mata kuliah kewarganegaraan yang mungkin bisa jadi referensi kalian. Setelah dibaca, jangan lupa komentarnya ya.
Cinta Indonesia dalam
Menghadapi Perkembangan Globalisasi
Sekarang Indonesia sudah berumur 69 tahun yang berarti
kita sudah setengah abad lebih merdeka dari penjajahan. Ketika membicarakan
Kemerdekaan, mulailah kita akan mendiskusikan tentang nasionalisme,
partiotisme, sikap bela negara serta semangat kebangsaan. Perjuangan-perjuangan
dimasa penjajahan yang begitu luar biasa dilakukan dari seluruh pelosok
Nusantara dan semangat dalam meraih Kemerdekaan dari penjajahan negara lain. Dengan segala kemampuan yang kita
miliki, bangsa kita bangsa Indonesia berusaha mendapatkan prestasi di mata
dunia. Dengan berbagai suku, ras, bahasa, budaya, dan agama yang memliki
pontesi yang besar untuk mengharumkan nama bangsa di mata dunia masyarakat
Indonesia harus bersatu pada dalam mengharumkan nama baik Negara Indonesia.
Berbagai konsep dan sikap tentang kemerdekaan Indonesia menjadi tanda tanya besar
ketika era Globalisasi datang dan menjamah Indonesia. Era dimana teknlogi,
budaya, kultur, dan informasi berkembang pesat dan dapat dijamah oleh semua
orang. Hal ini telah mengakibatkan kaburnya batas-batas antar negara (baik
secara politik, ekonomi, maupun sosial), masalah nasionalisme dan patriotisme
tidak lagi dapat dilihat sebagai masalah sederhana yang dapat dilihat dari satu
perspektif saja. Dalam dunia yang oleh sebagian orang disifatkan sebagai dunia
yang semakin borderless, banyak pengamat yang mulai mempertanyakan
kembali pengertian negara beserta aspek-aspeknya.
Salah satu contoh nyata yang menarik
dapat diambil dari kasus berikut: sekitar awal tahun 1999 terjadi unjuk rasa
kecil yang dilakukan sekelompok ormas terhadap LSM yang konsen pada permasalahan
HAM. Para pengunjuk rasa menuding para aktifis LSM tersebut tidak memiliki jiwa
nasionalisme karena dinilai telah menjadi agen kepentingan asing di Indonesia.
Para pengunjuk rasa melihat bahwa sebagian besar atau seluruh aktifitas LSM-LSM
tersebut mendapat dukungan dari lembaga donor asing. Sebagai konsekuensinya, LSM-LSM
tersebut harus menjalankan agenda yang menjadi “titipan” lembaga asing
tersebut. Akibatnya, beberapa persoalan dalam negeri Indonesia kemudian menjadi
sorotan internasional. Mereka membeberkan kasus-kasus yang mereka nilai sebagai
pelanggaran HAM berat. Citra Indonesia pun menjadi tercemar di pergaulan Internasional.
Bahkan, lepasnya Timor Timur dari NKRI merupakan andil dari LSM-LSM tersebut.
Dalam unjuk rasa tersebut, salah
seorang pimpinan LSM meminta beberapa orang perwakilan pengunjuk rasa untuk
masuk ke ruangan untuk diajak berdialog. Selepas berdialog, sang pemimpin LSM
didampingi perwakilan pengunjuk rasa kemudian berorasi di depan para pengunjuk
rasa. Dengan berapi-api, sang pimpinan LSM menyampaikan bahwa dia dan
teman-teman juga memiliki rasa nasionalisme. Namun pengertian nasionalisme yang
mereka pahami tidaklah sama dengan yang disampaikan pengunjuk rasa. Kiprah
mereka selama ini di LSM justru merupakan perwujudan nasionalisme mereka.
Mereka ingin agar Indonesia setaraf dengan negara lain, terutama dalam masalah
penghormatan terhadap HAM. Setelah mendengarkan orasi tersebut, para pengunjuk
rasa terlihat masygul dan mereka pun pulang tanpa dapat berkata-kata lagi.
Kejadian tersebut merupakan bukti
betapa persoalan nasionalisme dan patriotisme telah memiliki logika yang tidak
lagi sederhana sebagaimana dipahami di masa-masa sebelumnya. Jika menggunakan
perspektif lama, tudingan rendahnya nasionalisme yang diarahkan terhadap para
aktifis LSM tersebut sebenarnya cukup masuk akal dan didasari fakta. Namun
ketika dilihat dalam perspektif globalisasi, logika tersebut gampang sekali
dipatahkan. Ini menjadi salah satu contoh, bahwa era Globalisasi menpunyai efek
negatif dan dapat mengacam keberadaan Nasionalisme dan berbagai konsep yang
telah menyatukan bangsa Indonesia selama 69 tahun ini. Bergagai pengamat
memprediksi bahwa di tahun 2025 nanti, Indonesia memiliki kemungkinan besar
kehancuran karena perbedaan dan rasa nasionalisme yang hilang. Walaupun cuman
prediksi, hal ini juga menjadi suatu kekhawatiran terhadap lunturnya rasa
Nasionalisme dan Partiotisme di era kemajuan informasi yang begitu cepat ini.
Ancaman
dari era Globalisasi memang tidak akan ada hentinya. Bobroknya budaya ataupun
rasa cinta tanah air ini juga bukan hanya dari efek Globaliasasi sendiri,
tetapi dari kita bangsa Indonesia yang tidak lagi menghargai dan menghormati
apa yang telah di perjuangan selama lebih dari 3 setengah abad. Memang banyak
guncangan setelah proklamasi di bacakan. Perperangan dan perpecahan antar
bangsa sendiri menjadi ancaman dan kekhawatiran yang sangat besar bagi keutuhan
negara. Dari masa Orde lama sampai era reformasi sekarang tidak ada hentinya
bangsa sendiri “mengkanibalkan” sesamanya hanya untuk pencapaian pribadi. Di
zaman sekarang tawuran, pemakaian narkoba, seks bebas, pencemaran
keanekaragaman, pudarnya etika kulturalitas dan antargolongan, dan sebagainya
adalah berbagai serapan negatif yang dipelajari dari negara lain. Walaupun
negatif, tetap saja dilakukan oleh banyak orang. Mereka menganggap bahwa hal
berbagai hal negatif itu dapat menjadikan mereka sebagai manusia modern dan
dapat diterima di lingkungan pergaluan mereka. Informasi yang diperoleh tidak
dapat dicerna dengan baik, tetapi hanya di ambil bagian dimana ada kenyamanan
yang diinginkan mereka sehingga anggapan rasa aman tetap menjadi konsep mereka.
Fondasi 4 pilar
pun menjadi sangat penting ketika ancaman Globalisasi mulai menyerang rasa cinta tanah air dari bangsa Indonesia. Jiwa
bangsa yang tertuang dalam dasar negara Pancasila, penyautan keanekaragaman hal
di Indonesia dengan Bhineka Tunggal Ika di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, serta landasan hukum Undang-Undang Dasar yang menjadikan kita
sebagai bangsa yang besar dan menjadi panutan negara lain akan keharmonisan
masyarakatnya. Hal-hal ini pun harus di terapkan dilingkungan keluarga, lembaga
pendidikan, tempat tinggal, bahkan dimanapun kita berada. Rasa cinta tanah air
harus sudah ditanamkan sejak usia dini, agar rasa kebanggaan, rasa memiliki,
rasa menghargai, rasa menghormati dan loyalitas dapat dimiliki oleh setiap
masyarakat dan tercermin dari perilakunya dalam membela tanah air, menjaga dan melindungi tanah air, rela
berkorban demi kepentingan bangsa dan negaranya, mencintai adat atau budaya
dengan melestarikannya dan melestarikan alam dan lingkungan. Kita harus bangga
juga apabila budaya kita di tampilkan di Negara lain. Tegak kan kembali
nilai-nilai luhur dari pancasila , untuk merapatkan dan menyatukan kembali jati
diri bangsa ini yang semakin lama semakin pudar. Terus belajar, bekerja dan
berusaha demi kehidupan kita anak cucu kita dan kehidupan seluruh rakyat di
bangsa Indonesia ini. Sehingga
kecintaan terhadap tanah air tidak dapat luntur dengan mudah.
Walaupun
berbagai ancaman negatif dari era Globalisasi, efek postif pun tentu ada dari
era Globalisasi ini. Seperti informasi dan perkembangan yang sangat pesat
menjadikan kita bangsa yang tidak bisa dipandang sebelah mata oleh bangsa lain.
Semua hal ada baik buruknya, tergantung kita bagaimana menjadikannya berguna untuk
kemajuan positif dalam meraih kesuksesan tanpa adanya kepentingan pribadi. Kita
dapat mengutip perkataan yang dapat diterapkan dalam kehidudan berbangsa dan
bertanah air dari mantan presiden Amerika “ John F. Kennedy” : “don’t ask what your country can do for you ,
but ask what you can do four your country”. (WTV)
DAFTAR PUSTAKA
1. -Antonim
2. -Tim Redaksi Second Hope. 2014. UUD
1945 DAN AMANDEMENNYA PLUS SEJARAH KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA.
Yogyakarta. Second Hope.
3.
-Anonim
http://kumpulan-makalah-dan-artikel.blogspot.com/2013/01/Makalah-Tentang-Menanamkan-Sikap-Cinta-Tanah-Air-Kepada-Anak-anak-TK.html. Diakses tanggal 8 September 2014
4.
-Anonim
http://punyaibang.blogspot.com/ . Di akses tanggal 9 September
5. -
Anonim
http://sociozine.com/kajian/hallyu-ancaman-globalisasi-bagi-indonesia/. Diakses tanggal 9 September 2014